Minggu, 24 Januari 2016

Belajar dari kisah cinta Fatimah dan Ali RA

Cinta dalam diam, mungkin kalimat ini tak asing lagi di telinga kita, ketika hati mulai terpaut dengan seseorang jika mengungkapkan padanya menjadi  awal dari kemaksiatan maka tiada hal lain yang dilakukan ialah mencoba mencintainya dalam diam dan mencintainya dalam untaian doa.
Kisah cinta antara Ali bin abi thalib sahabat rasul yang sekaligus adalah sepupunya ini memiliki kecerdasan sejak beliau sehingga dialah dari kalangan anak muda yang mengakui keesaan Allah dan Muhammad adalah utusan Allah. Ali bin abi thalib juga salah satu sahabat yang istimewa dimata Rasulullah SAW selain beliau tinggal lansung bersama Rasulullah, dia juga seorang pemberani pernah menggantikan posisi tidur Rasulullah disaat hijrah dan juga seorang mujahid perang yang gagah.
Tersebut Fatimah, putri Rasulullah SAW yang taat, penyayang dan sangat peduli pada Rasulullah SAW, selalu ada disamping ayahnya dalam setiap kisah perjuangan sang ayah membumikan nilai-nilai islam di tengah kafir quraisy.
Pada suatu ketika fathimah dilamar oleh seorang laki-laki yang selalu dekat dengan nabi, ia telah mempertaruhkan kehidupannya, harta dan jiwanya untuk Islam, menemani perjuangan Rasulullah SAW sejak awal-awal risalah ini. Dialah abu bakar Ash shiddiq, entah kenapa mendengar berita ini ali terkejut dan tersentak jiwanya, muncul rasa-rasa yang diapun tak mengerti, Ali merasa di uji karena terasa apalah dirinya dibanding dengan Abu Bakr As shiddiq kedudukannya disisi nabi. Dia merasa belum ada apa-apanya bila dibanding dengan Abu bakar ash shiddiq, perjuangannya dalam menyebarkan risalah Islam, entah sudah berapa banyak tokoh-tokoh bangsawan dan saudagar makkah yang masuk Islam karena sentuhan dakwahnya. Sebutlah ‘Utsman, ‘Abdurrahman bin auf, Thalhah, Zubair, Sa’d bin abi Waqqash, Mush’ab. Ini yang tak mungkin dilakukan oleh anak-anak seperti Ali. Tak sedikit juga para budak yang dibebaskan oleh Abu bakr Ashiddiq sebutlah Bilal bin rabbah, khabbab, keluarga yassir, ‘Abdullah ibn mas’ud. Dari sisi finansial Abu Bakr seorang saudagar tentu akan lebih bisa membahagiakan fathimah, sementara Ali?, hanya pemuda miskin dari keluarga miskin.
Melihat dan memperhitungkan hal ini Ali ikhlas dan bahagia jika Fathimah bersama Abu bakr Ashiddiq, meskipun ia tak mampu membohongi rasa-rasa dalam hatinya yang ia sendiri tak mengerti, apakah mungkin itu yang namanya cinta?.
“Cinta tak pernah minta untuk menunggu, Ia hanya mengambil kesempatan dengan segera atau mempersilakan, karena cinta tentang keberanian dan pengorbanan”
Beberapa waktu berlalu Ali menerima kabar yang menumbuhkan kembali harapannya, kabar tentang lamaran Abu bakr yang ditolak oleh Fathimah. Ali kembali mempersiapkan diri, berharap dia masih memiliki kesempatan itu.
Namun ujian bagi Ali belum berakhir, setelah Abu bakr mundur muncullah laki-laki nan gagah perkasa dan pemberani. Seseorang yang dengan masuk Islamnya mengangkat derajat kaum muslimin, seorang laki-laki yang membuat syaithan berlari takut dan musuh-musuh Allah bertekuk lutut. Seorang yang diberi gelar Al-faruq, ya, dialah Umar ibn Al Khaththab. Pemisah antara kebenaran dan kebatilan juga datang melamar fathimah.
Ali pun ridha jika Fathimah menikah dengan Umar, ia bahagia jika fathimah bisa bersama dengan sahabat kedua terbaik Rasulullah setelah Abu bakr ashiddiq yang mana Rasulullah sampai mengatakan “Aku datang bersama Umar dan Abu bakr”.
Namun beberapa saat kemudian Alipun semakin bingung karena ternyata lamaran Umar di tolak. “Mengapa bukan engkau yang mencoba kawan?”, seru sahabat Ansharnya, “Mengapa engkau tak mencoba melamar fathimah?, aku punya firasat, engkaulah yang ditunggu-tunggu Baginda Nabi..”
“Aku?”, tanyanya tak yakin.
“Ya.Engkau wahai saudaraku!”
“Aku hanya pemuda miskin. Apa yang bisa aku andalkan?”
Sahabatnyapun menguatkan “Kami dibelakangmu, kawan!
Akhirnya Ali bin Abi thalibpun memberanikan diri menjumpai Rasulullah untuk menyampaikan maksud hatinya, meminang putri nabi untuk jadi istrinya.

Setelah diberi semangat serta motivasi oleh sahabatnya, akhirnya Alipun memberanikan diri menghadap sang nabi, menyampaikan niat baiknya ingin menikahi fatimah. Memang secara ekonomi Ali bukan siapa-siapa, tak ada sesuatu yang berharga dari dirinya kecuali hanya satu set baju perang ditambah persediaan tepung kasar untuk makannya, sederhana sekali yang masih dimiliki Ali.
Apakah Ali meminta Fatimah untuk menunggunya 1 atau 2 tahun dengan dalih dia mengumpulkan modal terlebih dahulu? serta meminta Fatimah sabar menantinya dalam kegamangan?, tentu tidak ia lakukan hal itu karena jelas sangat memalukan baginya. Ali yakin akan pilihannya menikahi Fatimah tidaklah ringan namun ia siap dengan segala resikonya, ia berkomitmen mengambil tanggung jawab itu, ia sadar sesadar-sadarnya kalau Allah maha kaya dan tidak akan menelantarkan hambanya yang menikah untuk menjaga diri dan menyempurnakan Agama.
Lamaran Ali pun terjawab, hanya kata sederhana yang muncul dari mulut sang nabi “Ahlan wa sahlan!”, Ali bingung dengan jawaban Rasulullah, apa maksudnya? apakah itu tanda penerimaan atau penolakan?.
Ali pun bertemu dengan sahabatnya, dan sahabatnya menanyakan.
“Bagaimana jawab nabi kawan? Bagaimana lamaranmu?”
“Entahlah..” jawab Ali.
“Apa maksudmu?” tanya balik sahabatnya.
“Menurut kalina apakah ‘Ahlan wa sahlan’ berarti sebuah jawaban!? ia bertanya penuh kebingungan pada sahabatnya.
” Satu saja sudah cukup dan kau mendapatkan dua!, Ahlan saja sudah berarti ya, sahlan juga. Dan kau mendapatkan Ahlan wa sahlan, dua-duanya berarti ya.” jelas sahabatanya.
Dan Alipun menikahi fatimah dengan menggadaikan baju besinya. Dengan rumah yang ingin disumbangkan kawan-kawannya tapi nabi meminta membayar cicilannya, Itu hutang. Inilah kisah dari perjuangan cinta Ali, dibagian satu kita belajar bagaiaman Ali dengan Ridho dan ikhlas mengorbankan cintanya pada Abu bakr, pada Umar tanpa sedikit cemburu dan sakit hati. Dibagian kedua ini kita belajar bagaimana Ali mengambil kesempatan serta tanggung jawab untuk menikahi Fatimah, memang kondisi ekonominya tidak sempurna, namun ia mempunya niat dan komitmen yang sempurna hingga Allah mudahkan jalannya.
Begitulah cinta, tak ada sakit hati, tak ada cemburu, ia juga tak meminta untuk menunggu dan menantinya dibatas waktu tapi ia mengambil kesempatan dengan apa yang ia punya. Itulah cinta tentang keberanian, tanggung jawab, komitmen dan keikhlasan. Semoga kita bisa mengambil hikmahnya.
Sumber  : www.elmina-id.com/kisah-cinta-dalam-diam-ali-fatimah

Keutamaan Ilmu

Wahai Putraku, Apa Kabar Ilmumu?
“ Wahai putraku, tuntutlah ilmu, dan aku siap membiayaimu dari pintalanku.
Wahai putraku, jika engkau telah mencatat sepuluh kalimat, maka perhatikan:
Apakah engkau bertambah takut, sabar, dan sopan?
Jika engkau tidak demikian, maka ketahuilah bahwa semua kalimat tadi akan membahayakanmu dan tidak bermanfaat bagimu .” (Riwayat Imam Ahmad).
Perhatikanlah nasihat seorang Ibu kepada putranya di atas. Resapi kata demi kata yang menyertainya.
Bahasa yang sangat sederhana, namun sarat makna.
Nasihat yang lahir dari kekhawatiran akan manfaat ilmu yang anaknya pelajari.
Nasihat yang lahir dari rasa peduli dan kasih sayang yang tinggi,
Nasihat yang lahir dari nilai Islam yang melekat dalam diri,
Hingga tak ingin ananda tercintanya melakukan kesia-siaan dalam waktu hidupnya.
Wahai Ibu...
Ibu di manapun di seluruh dunia,
Bagaimana dengan kita?
Jangankan 10 kalimat,
Jangan-jangan sudah berbuku-buku habis untuk catatan belajar anak-anak kita,
Namun mungkin terlupa kita tanyakan,
Bagaimana manfaat ilmu bagi mereka.
Apakah ilmu mereka membuat mereka semakin tunduk pada Rabb-nya?
Apakah ilmu mereka membuat mereka semakin takut? Semakin sabar? Semakin sopan?
Pernahkah kita tanyakan?
Barangkali kita memang bertanya pada mereka,
Tentang ilmu mereka,
Sudah sampai mana pelajaranmu,Nak?
Mampukah engkau mengikuti?
Apakah perlu Ibu tambahkan les untukmu, anakku?
Kita tuntut mereka belajar,
Untuk sanggup mengikuti kurikulum yang ditetapkan,
Namun lupa mengevaluasi kembali…
Hasil ilmu bukanlah nilai rapor sekolah.
Hasil ilmu bukanlah menjadi pemenang adu cerdas cermat,
Hasil ilmu bukanlah dari piala dan piagam berjejeran.
Hasil ilmu adalah akhlaq mereka,
Yang ketika bertambah ilmu mereka,
Bertambah takut, sabar, dan sopanlah mereka.
Hasil ilmu adalah ketika mereka tidak sia-sia dalam waktu mereka.
Hingga tak tersisa ketidakmanfaatan dalam semua tindak tanduk mereka.
Tahukah siapa sebenarnya Ibu dengan nasihat luar biasa di atas?
Dialah ibunda Sufyan Ats Tsauri.
Sufyan Ats Tsauri tercatat sebagai adalah salah seorang tokoh ulama teladan dari Kufah,
Imam dalam bidang hadits juga bidang keilmuan lainnya,
Terkenal sebagai pribadi yang wara' (sangat hati-hati), zuhud , dan seorang ahli fiqih,
‘Ulama yang selalu ingat untuk mengamalkan ilmunya.
Wahai Ibu….
Jangan biarkan kisah ini berlalu begitu saja,
Kini saatnya kita yang bertanya,
Apa kabar ilmumu, anakku?
Manfaatkah dia bagi akhlaqmu?
Karena Nak, Ilmu itu terlihat dari amalmu.

www.parentingnabawiyah.com/index.php/catatan--hati-ibu/265-wahai-putraku-apa-kabar-ilmumu